Yesus di Dalam Alkitab Yang Adalah Firman Allah
Renaisance dan Humanisme pada abad pertengahan sangat mempengaruhi dunia kebudayaan dan agama. Tidak
terkecuali kekristenanpun terkena imbasnya dari gerakan tersebut. Berawal pada
semakin terbukanya para ahli teologia untuk meneliti teks-teks Alkitab. Dalam
perkembangan selanjutnya rasionalisme menguasai eropa yang berpusat pada akal
manusia yang merupakan tolak ukur dari sebuah kebenaran.
Berdasarkan
dari perkembangan gerakan Renaissance
dan Humanisme, menyebabkan kaum Liberalisme memahami bahwa Alkitab bukanlah Firman Tuhan dan memiliki
kesalahan dalam isi dan Tulisannya. Hal ini diperjelas dengan penyataan kaum
liberalisme, bahwa kesulitan yang paling jelas ialah tiadanya klaim yang jelas
dan mutlak dari PB mengenai infalibilitas dan ineransi keseluruhan PB seperti
yang dimiliki sekarang ini. Maka juga berimbas tentunya terhadap Injil-Injil
sinoptis yang mana kaum Liberalisme memahami Injil Sinoptis bukalah Firman
Tuhan, dan dilihat dari tahun penulisan maka Injil Markus menjadi pusat dari
informasi Injil Matius dan Lukas, atau yang biasa disebut teori sumber Q.
Menanggapi
pandangan Liberlisme yang menyatkan bahwa Alkitab bukanlah Firman Tuhan maka
penulis beranggapan bahwa, hal ini disebabkan karena kaum liberalis sangat
terpengaruh pada konsep penelitian yang dikembangkan dengan menggunakan metode
higher criticism dan lower criticism yang berimbas pada kesimpulan bahwa
Alkitab bersifat insani belaka tanpa adanya campur tangan Allah, dan
mengabaikan sifat keilahian dari Alkitab itu sendiri. Mengenai sifat Alkitab
yang memiliki kesifatan ilahi, Thiesen menyatakan
Pada
saat merenungkan sifat Alkitab, maka mau tidak mau harus mengakui adanya satu
kesimpulan saja: Alkitab merupakan wujud penyataan ilahi, pertama-tama,
perhatikan isi Alkitab. Alkitab mengakui kepribadian, kesatuan, dan
ketritunggalan Allah; Alkitab mengagungkan kekudusan dan kasih Allah; Alkitab
mengisahkan bahwa manusia adalah ciptaan Allah, yang diciptakan menurut
gambar-Nya. Alkitab menggambarkan kejatuhan manusia sebagai suatu pemberontakna
yang sadar terhadap kehendak Allah yang sudah dinyatakan kepadanya…. Alkitab
juga menunjukan secara sangat terinci bagaiman Allah telah menyediakan
keselamtan serta member tahu syarat untuk memperoleh keselamtan itu [1] kedua,
perhatikanlah kesatuan amanat Alkitab. Sekalipun Alkitab ditulis oleh sekitar
empat puluh penulis berbeda selama rentang waktu sekitar 1600 tahun, amanat-Nya
satu. Alkitab mempunyai satu system doctrinal, satu tolok ukur moral, satu
rencana keselamatan, satu program untuk segala jaman.
Jika kalangan liberalism berlandaskan rasionalisme
yang mengandalkan akali manusia menyatakan bahwa, jika Alkitab adalah Firman
Tuhan tidaklah masuk akal, maka penulis menyatakan lebih tidak masuk diakal
jika teolog liberal tidak mengakui bahwa Alkitab adalah Firman Tuhan. Hal ini
telah terlihat dengan jelas bahwa Alkitab memberikan keterangan yang sangat
komperhensif atau jelas. Mengenai keterangan yang bersifat komperhensif terlihat dari isi Alkitab itu sendiri yang
mencertitakan kebenaran sebelum penciptaan dan sampai akhir jaman yang belum
terjadi. Selain itu jika dilihat dan diteliti bahwa Alkitab ditulis oleh empat
puluh penulis yang berbeda dan kurun waktu 1600 tahun namum memiliki alur
cerita yang satu dan tidak saling bertentangan. Hal ini ditambahkan oleh Thiesen,
“dengan mempertimbangkan isi dan kesatuan Alkitab mau tidak mau harus
menyimpulkan bahwa Alkitab merupakan wujud penytaan ilahi…. Penulis siapakah
yang dapat menguraikan pandangan itu dengan demikian konsisten dan
berkesinambungan sepanjang kurun waktu yang demikian lama? “[2].
Berkaitan dengan wujud ilahi dan Alkitab maka Kennedy menambahkan,
Tidak
ada penerbit (manusia)yang memesan tulisan kitab demikian. Tidak ada penyunting
yang mengemukakan rencana; tidak ada komite penyunting yang meninjau perkembangannya;
tidak ada yang membagikan garis besar kepada para penulis yang berbeda itu.
Meskipun adanya fakta-fakta tersebut, di dalam Alkitab terdapat segala macam
sastra, termasuk prosa dan puisi; sejarah dan hukum, biografi dan perjalanan dan
teologi. Dan falsafah. Dan entah bagaimana, semua unsur ini berpadu untuk
memberi kesatuan yang luar biasa dari kejadian sampai Wahyu[3].
Sekalipun Alkitab dibuat dengan tempo waktu yang
sangat panjang dan dibuat oleh puluhan orang yang tak saling mengenal, kemudian
tidak ada sebuah wadah yang mengedit hasil pekerjaan mereka, namun memiliki
kesatuan alur cerita yang sangat baik atau sempurna. Sangatlah masuk diakal
jika Alkitab adalah Firman Tuhan. Setelah penulis memberikan beberapa penjelasan
mengenai keunikan Alkitab, maka penulis memahami bahwa Alkitab adalah suatu maha karya agung Allah yakni Alkitab. Apakah
teolog liberalism tidak pernah membayangkan dan memikirkan bagaimana kesatuan
Alkitab yang luarbiasa memiliki kesatuan yang indah selama ribuan tahun ditulis
oleh para penulis yang tak mengenal sama sekali? Keunikan para penulis yang tak
mengenal inilah juga menjadi salah satu alasan bahwa Allahlah yang mengilhami
mereka untuk menulis kebenaran Alkitab. Namum dalam hal ini penulis melihat
bahwa serangan kebencian kaum liberalis terhadap kebenaran konservatif terhadap Alkitab tidak berhenti sampai disana,
namun berlanjut pada Injil-Injil sinoptis.
Ketika
para teolog modern atau liberalism mempelajari kebenaran Injil-Injil Sinoptik
maka para tokoh ini mengembangkan teori mengenai sumber-sumber yang darinya
para penulis ini mendapakan informasi. Menyingkapi hal ini maka keterkaitan
antara Kristologi dan Alkitab, Eckardt menyatakan
menyatakan
bahwa, melalui gelar-gelar yang dikaitkan kepada diri Yesus di dalam
Injil-Injil Sinoptik. Sekalipun tulisan-tulisan tentang Yesus ini merupakan
tafsiran, tulisan-tulisan itu adalah tulisan-tulisan yang dipunyai paling dekat
dengan dokumen-dokumen sejarah tentang diri-Nya. Injil keempat merupakan suatu
golongan lain dari masa lebih kemudian. Sehubungan dengan hal-hal sejarah,
Injil-Injil Sinoptik diakui lebih dapat dipercaya, demikian juga halnya
sehubungan dengan unsur-unsur Kristologi yang didasarkan pada sejarah
unsur-unsur itu[4].
Para tokoh Liberalime memberikan penilaian yang
berbeda mengenai kitab-kitab Injil, dalam menggambarkan Yesus. Mengenai
perbedaan ini para teolog liberalism menilai bahwa Injil-injil Sinoptik lebih
akurat dibandingkan dengan Injil Yohanes. Bong memahami bahwa,
Perbedaan
tajam antara citra-citra Yesus di dalam Injil Yohanes dan di dalam Inji-Injil
Sinoptik begitu besar sehingga salah satunya mestilah tidak historis. Keduanya
tidak dapat merupakan karakterisasi yang tepat atas Yesus sebagai seorang tokoh
sejarah. Gambaran di dalam Injil Yohanes harus dinyatakan sebagai gambaran yang
tidak historis. Bahwa mengenai gambaran Yesus di dalam Injil Yohanes pada
hakikatnya adalah gambaran mengenai Kristus kepercayaan, dan bukan mengenai
Yesus sejarah. Yesus tidak pernah menyatakan diri-Nya sebagai Anak Allah,
sebagai satu dengan Allah, sebagai terang dunia, sebagai jalan, kebenaran dan
hidup, dan seterusnya.[5]
Dalam hal ini maka nampaklah bahwa ada pemahaman
yang membedakan nilai dari Injil-Injil sinoptik dengan Injil Yohanes. Injil-Injil
sinoptik lebih memiliki nilai sejarah sedangkan Injil Yohanes bernilai hanya
sebagai bentuk kepercayaan orang Kristen mula-mula.
Mengenai penilaian liberalism terhadap
kitab-kitab Injil maka penulis menyatakan bahwa penilaian tersebut sangat
keliru, sebab kaum liberalism tidak mampu menangkap kebenaran nilai ilahi yang
terkandung dalam kitab-kitab Injil. Pada dasarnya semua bagian dalam Alkitab
yang telah disinggung pada bagian awal bahwa Alkitab adalah Firman Tuhan dan
memiliki nilai ilahi yang sama dalam semua bagian Alkitab. Dalam hal ini Pate
memberikan penjelasan bahwa,
Jutaan
orang Kristen dan ribuan ahli teologi selama dua ribu tahun trakhir telah
menyetujui kehadalan keempat Injil. Pertimbangkan fakta-fakta ini:
Para
penulis Injil dalam kitab Perjanjian Baru adalah saksi mata yang benar-benar
mengetahui Yesus yang sesungguhnya atau teman-teman dekat dari orang-orang yang
dekat dengan Yesus yang sesungguhnya. Oleh sebab itu, Markus menggunakan Rasul
Petrus sebaga narasumber untuk menulis Injilnya; Matius adalah salah satu dari
dua belas rasul; Yohanes adalah murid “kesayangan”; dan Lukas adalah penulis di
bawah bimbingan Paulus.
Keempat
Injil kanon menyampaikan alur cerita dasar yang sama: Yesus dibaptis oleh
Yohanes pembaptis; Dia menyatakan dirinya sebagai Mesias; menyatakan bahwa
kerajaan Allah telah hadir dalam diri-Nya; memulai pelayanan di Galilea;
menentang orang-orang Yahudi dan Romawi yang berkuasa; diadili dan disalibkan
oleh kedua pihak tersebut, tetapi bangkita dari kematian pada hari ketika, dan
setealh itu Dia bertemu dengan orang-orang yang kemudian menuliskan keempat
Injil kanon
Alur
cerita dasar di atas ditegaskan oleh pana penulis Yahudi dan Romawai di luar
kitab Perjanjian Baru yang hidup pada abad pertama Masehi atau tidak lama setalah
itu. Meskipun pendapat-pendapat mereka mengenai Yesus dan gereja mula-mula pada
hakekatnya bersifat controversial, mereka secara tidak sengaja mengatkan alur
cerita yang ditemukan dalam Injil-Injil kanon.[6]
Dari penjelasan di atas sangatlah tidak tepat jika
seandainya para tokoh liberal menyatakan ada perbedaan mendasar antara
Injil-Injil Sinoptik dan Injil Yohanes, semua penulis Injil merupakan saksi
mata maupun sahabat terdekat dari para Rasul yang melihat dan berhubungan
langnsung dengan Sang Mesias. Adalah sebuah kebodohan yang juga meragukan kesejarahan Injil Yohanes,
sebab Yohanes adalah murid Tuhan Yesus, dan bagaimana mungkin Yohanes tidak
mengetahui kebadaan Yesus yang hidup dalam sejarah manusia.
Mengenai
Injil sinoptik dan keterkaitannya dengan teori sumber yang telah dijelaskan
diatas, penulis menyatakan, bagaimana mungkin
Injil Markus menjadi sumber dalam penulisan Inji-Injil sinoptik, sementara
Matius adalah saksi mata atau juga murid dari Tuhan Yesus yang berhubungan
langsung dengan Yesus. Kemudian Baker menyatkan, kelihatan seperti tidak pernah
terlintas kepada para ahli kritik ini bahwa ketiga orang tersebut dapat saja
dituntun Roh Kudus utntuk menulis hal yang mereka alami terlepas dari sumber
lainnya manapun , walaupun tuntunan demikian tidak meniadakan penelitian ketiga
penulis itu terhadapa semua sumber informasi yang tersedia.[7]
Lebih dikuatkan lagi bahwa Baker menyatakan bahwa apa yang terjadi atas
penulisan para penulis Injil-Injil sinoptik adalah merupakan sebuah pempinan
Roh Kudus yang tak mungkin memiliki kesalahan dalam penulisan Injil-Injil
Sinoptik.
Dalam
kesimpulan penulis mengenai Injil-Injil Sinoptik adalah bahwa semua bagian
memiliki sifat keilahian yang saling menguatkan dalam memberikan inforamasi
mengenai Yesus yang hadir dalam sejarah kehidupan manusia. Dengan berbagai
macam alasan diatas sangatlah tepat jika keKristenan menaruh kepercayaan yang
mutlak terhadap Injil-Injil Sinoptik dalam menggali kebenaran mengenai Yesus.
Segala informasi mengenai hakekat Yesus dan karya-Nya adalah kebenaran semata
yang mutlak dan tanpa kesalahan. Injil-Injil Sinoptik bukanlah merupakan bentuk
kepercayaan bapak-bapak gereja mengenai Yesus, tapi memang merupakan informasi
sejarah mengenai Yesus Kristus yang adalah mesias.
No comments:
Post a Comment