Tuesday 13 December 2016

Yesus di Dalam Alkitab Yang Adalah Firman Allah

                  Renaisance dan Humanisme pada abad pertengahan sangat mempengaruhi dunia kebudayaan dan agama. Tidak terkecuali kekristenanpun terkena imbasnya dari gerakan tersebut. Berawal pada semakin terbukanya para ahli teologia untuk meneliti teks-teks Alkitab. Dalam perkembangan selanjutnya rasionalisme menguasai eropa yang berpusat pada akal manusia yang merupakan tolak ukur dari sebuah kebenaran.
                  Berdasarkan dari perkembangan gerakan Renaissance dan Humanisme, menyebabkan kaum Liberalisme memahami bahwa Alkitab bukanlah Firman Tuhan dan memiliki kesalahan dalam isi dan Tulisannya. Hal ini diperjelas dengan penyataan kaum liberalisme, bahwa kesulitan yang paling jelas ialah tiadanya klaim yang jelas dan mutlak dari PB mengenai infalibilitas dan ineransi keseluruhan PB seperti yang dimiliki sekarang ini. Maka juga berimbas tentunya terhadap Injil-Injil sinoptis yang mana kaum Liberalisme memahami Injil Sinoptis bukalah Firman Tuhan, dan dilihat dari tahun penulisan maka Injil Markus menjadi pusat dari informasi Injil Matius dan Lukas, atau yang biasa disebut teori sumber Q.
                  Menanggapi pandangan Liberlisme yang menyatkan bahwa Alkitab bukanlah Firman Tuhan maka penulis beranggapan bahwa, hal ini disebabkan karena kaum liberalis sangat terpengaruh pada konsep penelitian yang dikembangkan dengan menggunakan metode higher criticism dan lower criticism yang berimbas pada kesimpulan bahwa Alkitab bersifat insani belaka tanpa adanya campur tangan Allah, dan mengabaikan sifat keilahian dari Alkitab itu sendiri. Mengenai sifat Alkitab yang memiliki kesifatan ilahi, Thiesen menyatakan
Pada saat merenungkan sifat Alkitab, maka mau tidak mau harus mengakui adanya satu kesimpulan saja: Alkitab merupakan wujud penyataan ilahi, pertama-tama, perhatikan isi Alkitab. Alkitab mengakui kepribadian, kesatuan, dan ketritunggalan Allah; Alkitab mengagungkan kekudusan dan kasih Allah; Alkitab mengisahkan bahwa manusia adalah ciptaan Allah, yang diciptakan menurut gambar-Nya. Alkitab menggambarkan kejatuhan manusia sebagai suatu pemberontakna yang sadar terhadap kehendak Allah yang sudah dinyatakan kepadanya…. Alkitab juga menunjukan secara sangat terinci bagaiman Allah telah menyediakan keselamtan serta member tahu syarat untuk memperoleh keselamtan itu [1] kedua, perhatikanlah kesatuan amanat Alkitab. Sekalipun Alkitab ditulis oleh sekitar empat puluh penulis berbeda selama rentang waktu sekitar 1600 tahun, amanat-Nya satu. Alkitab mempunyai satu system doctrinal, satu tolok ukur moral, satu rencana keselamatan, satu program untuk segala jaman.


Jika kalangan liberalism berlandaskan rasionalisme yang mengandalkan akali manusia menyatakan bahwa, jika Alkitab adalah Firman Tuhan tidaklah masuk akal, maka penulis menyatakan lebih tidak masuk diakal jika teolog liberal tidak mengakui bahwa Alkitab adalah Firman Tuhan. Hal ini telah terlihat dengan jelas bahwa Alkitab memberikan keterangan yang sangat komperhensif atau jelas. Mengenai keterangan yang bersifat komperhensif  terlihat dari isi Alkitab itu sendiri yang mencertitakan kebenaran sebelum penciptaan dan sampai akhir jaman yang belum terjadi. Selain itu jika dilihat dan diteliti bahwa Alkitab ditulis oleh empat puluh penulis yang berbeda dan kurun waktu 1600 tahun namum memiliki alur cerita yang satu dan tidak saling bertentangan. Hal ini ditambahkan oleh Thiesen, “dengan mempertimbangkan isi dan kesatuan Alkitab mau tidak mau harus menyimpulkan bahwa Alkitab merupakan wujud penytaan ilahi…. Penulis siapakah yang dapat menguraikan pandangan itu dengan demikian konsisten dan berkesinambungan sepanjang kurun waktu yang demikian lama? [2]. Berkaitan dengan wujud ilahi dan Alkitab maka Kennedy menambahkan,
Tidak ada penerbit (manusia)yang memesan tulisan kitab demikian. Tidak ada penyunting yang mengemukakan rencana; tidak ada komite penyunting yang meninjau perkembangannya; tidak ada yang membagikan garis besar kepada para penulis yang berbeda itu. Meskipun adanya fakta-fakta tersebut, di dalam Alkitab terdapat segala macam sastra, termasuk prosa dan puisi; sejarah dan hukum, biografi dan perjalanan dan teologi. Dan falsafah. Dan entah bagaimana, semua unsur ini berpadu untuk memberi kesatuan yang luar biasa dari kejadian sampai Wahyu[3].

Sekalipun Alkitab dibuat dengan tempo waktu yang sangat panjang dan dibuat oleh puluhan orang yang tak saling mengenal, kemudian tidak ada sebuah wadah yang mengedit hasil pekerjaan mereka, namun memiliki kesatuan alur cerita yang sangat baik atau sempurna. Sangatlah masuk diakal jika Alkitab adalah Firman Tuhan. Setelah penulis memberikan beberapa penjelasan mengenai keunikan Alkitab, maka penulis memahami bahwa Alkitab adalah suatu maha karya agung Allah yakni Alkitab. Apakah teolog liberalism tidak pernah membayangkan dan memikirkan bagaimana kesatuan Alkitab yang luarbiasa memiliki kesatuan yang indah selama ribuan tahun ditulis oleh para penulis yang tak mengenal sama sekali? Keunikan para penulis yang tak mengenal inilah juga menjadi salah satu alasan bahwa Allahlah yang mengilhami mereka untuk menulis kebenaran Alkitab. Namum dalam hal ini penulis melihat bahwa serangan kebencian kaum liberalis terhadap kebenaran konservatif  terhadap Alkitab tidak berhenti sampai disana, namun berlanjut pada Injil-Injil sinoptis.
                  Ketika para teolog modern atau liberalism mempelajari kebenaran Injil-Injil Sinoptik maka para tokoh ini mengembangkan teori mengenai sumber-sumber yang darinya para penulis ini mendapakan informasi. Menyingkapi hal ini maka keterkaitan antara Kristologi dan Alkitab, Eckardt menyatakan
menyatakan bahwa, melalui gelar-gelar yang dikaitkan kepada diri Yesus di dalam Injil-Injil Sinoptik. Sekalipun tulisan-tulisan tentang Yesus ini merupakan tafsiran, tulisan-tulisan itu adalah tulisan-tulisan yang dipunyai paling dekat dengan dokumen-dokumen sejarah tentang diri-Nya. Injil keempat merupakan suatu golongan lain dari masa lebih kemudian. Sehubungan dengan hal-hal sejarah, Injil-Injil Sinoptik diakui lebih dapat dipercaya, demikian juga halnya sehubungan dengan unsur-unsur Kristologi yang didasarkan pada sejarah unsur-unsur itu[4].


Para tokoh Liberalime memberikan penilaian yang berbeda mengenai kitab-kitab Injil, dalam menggambarkan Yesus. Mengenai perbedaan ini para teolog liberalism menilai bahwa Injil-injil Sinoptik lebih akurat dibandingkan dengan Injil Yohanes. Bong memahami bahwa,
Perbedaan tajam antara citra-citra Yesus di dalam Injil Yohanes dan di dalam Inji-Injil Sinoptik begitu besar sehingga salah satunya mestilah tidak historis. Keduanya tidak dapat merupakan karakterisasi yang tepat atas Yesus sebagai seorang tokoh sejarah. Gambaran di dalam Injil Yohanes harus dinyatakan sebagai gambaran yang tidak historis. Bahwa mengenai gambaran Yesus di dalam Injil Yohanes pada hakikatnya adalah gambaran mengenai Kristus kepercayaan, dan bukan mengenai Yesus sejarah. Yesus tidak pernah menyatakan diri-Nya sebagai Anak Allah, sebagai satu dengan Allah, sebagai terang dunia, sebagai jalan, kebenaran dan hidup, dan seterusnya.[5]


Dalam hal ini maka nampaklah bahwa ada pemahaman yang membedakan nilai dari Injil-Injil sinoptik dengan Injil Yohanes. Injil-Injil sinoptik lebih memiliki nilai sejarah sedangkan Injil Yohanes bernilai hanya sebagai bentuk kepercayaan orang Kristen mula-mula.
                  Mengenai penilaian liberalism terhadap kitab-kitab Injil maka penulis menyatakan bahwa penilaian tersebut sangat keliru, sebab kaum liberalism tidak mampu menangkap kebenaran nilai ilahi yang terkandung dalam kitab-kitab Injil. Pada dasarnya semua bagian dalam Alkitab yang telah disinggung pada bagian awal bahwa Alkitab adalah Firman Tuhan dan memiliki nilai ilahi yang sama dalam semua bagian Alkitab. Dalam hal ini Pate memberikan penjelasan bahwa,
Jutaan orang Kristen dan ribuan ahli teologi selama dua ribu tahun trakhir telah menyetujui kehadalan keempat Injil. Pertimbangkan fakta-fakta ini:
Para penulis Injil dalam kitab Perjanjian Baru adalah saksi mata yang benar-benar mengetahui Yesus yang sesungguhnya atau teman-teman dekat dari orang-orang yang dekat dengan Yesus yang sesungguhnya. Oleh sebab itu, Markus menggunakan Rasul Petrus sebaga narasumber untuk menulis Injilnya; Matius adalah salah satu dari dua belas rasul; Yohanes adalah murid “kesayangan”; dan Lukas adalah penulis di bawah bimbingan Paulus.
Keempat Injil kanon menyampaikan alur cerita dasar yang sama: Yesus dibaptis oleh Yohanes pembaptis; Dia menyatakan dirinya sebagai Mesias; menyatakan bahwa kerajaan Allah telah hadir dalam diri-Nya; memulai pelayanan di Galilea; menentang orang-orang Yahudi dan Romawi yang berkuasa; diadili dan disalibkan oleh kedua pihak tersebut, tetapi bangkita dari kematian pada hari ketika, dan setealh itu Dia bertemu dengan orang-orang yang kemudian menuliskan keempat Injil kanon
Alur cerita dasar di atas ditegaskan oleh pana penulis Yahudi dan Romawai di luar kitab Perjanjian Baru yang hidup pada abad pertama Masehi atau tidak lama setalah itu. Meskipun pendapat-pendapat mereka mengenai Yesus dan gereja mula-mula pada hakekatnya bersifat controversial, mereka secara tidak sengaja mengatkan alur cerita yang ditemukan dalam Injil-Injil kanon.[6]


Dari penjelasan di atas sangatlah tidak tepat jika seandainya para tokoh liberal menyatakan ada perbedaan mendasar antara Injil-Injil Sinoptik dan Injil Yohanes, semua penulis Injil merupakan saksi mata maupun sahabat terdekat dari para Rasul yang melihat dan berhubungan langnsung dengan Sang Mesias. Adalah sebuah kebodohan yang  juga meragukan kesejarahan Injil Yohanes, sebab Yohanes adalah murid Tuhan Yesus, dan bagaimana mungkin Yohanes tidak mengetahui kebadaan Yesus yang hidup dalam sejarah manusia.
                  Mengenai Injil sinoptik dan keterkaitannya dengan teori sumber yang telah dijelaskan diatas, penulis menyatakan, bagaimana mungkin Injil Markus menjadi sumber dalam penulisan Inji-Injil sinoptik, sementara Matius adalah saksi mata atau juga murid dari Tuhan Yesus yang berhubungan langsung dengan Yesus. Kemudian Baker menyatkan, kelihatan seperti tidak pernah terlintas kepada para ahli kritik ini bahwa ketiga orang tersebut dapat saja dituntun Roh Kudus utntuk menulis hal yang mereka alami terlepas dari sumber lainnya manapun , walaupun tuntunan demikian tidak meniadakan penelitian ketiga penulis itu terhadapa semua sumber informasi yang tersedia.[7] Lebih dikuatkan lagi bahwa Baker menyatakan bahwa apa yang terjadi atas penulisan para penulis Injil-Injil sinoptik adalah merupakan sebuah pempinan Roh Kudus yang tak mungkin memiliki kesalahan dalam penulisan Injil-Injil Sinoptik.
                  Dalam kesimpulan penulis mengenai Injil-Injil Sinoptik adalah bahwa semua bagian memiliki sifat keilahian yang saling menguatkan dalam memberikan inforamasi mengenai Yesus yang hadir dalam sejarah kehidupan manusia. Dengan berbagai macam alasan diatas sangatlah tepat jika keKristenan menaruh kepercayaan yang mutlak terhadap Injil-Injil Sinoptik dalam menggali kebenaran mengenai Yesus. Segala informasi mengenai hakekat Yesus dan karya-Nya adalah kebenaran semata yang mutlak dan tanpa kesalahan. Injil-Injil Sinoptik bukanlah merupakan bentuk kepercayaan bapak-bapak gereja mengenai Yesus, tapi memang merupakan informasi sejarah mengenai Yesus Kristus yang adalah mesias.



                        [1] Thiesen C. Henry, Teologi Sistematika,70
                        [2] Ibid, 71

                        [3] Kennedy D. James Dan Jerry Newcombe, Bagaiaman Jika Alkitab Tidak Pernah Ditulis?, Diterjemahkanoleh Wim Salampesy (Batam,Interaksa,1999)14
                        [4] Roy A. Eckardt Menggali Ulang Yesus Sejarah,25-26


                        [5]

                        [6] Pate Marvin C Dan Sherly L. Pate, Disalibkan Oleh Media,Diterjemahkan Oleh Yeri Ekomunajat (Yogyakarta, Yayasan Andi, 2007)
                        [7] Baker F. Charles, A dispensational Theology, 97

No comments:

Post a Comment

teologia sukses

   TEOLOGIA SUKSES Pendahuluan                   Setelah era perang dunia ke-dua seluruh tatanan dalam kehidupan ...